Pelemahan Rupiah Masih Jauh dari Posisi Krismon 1998
Jakarta - Pelemahan rupiah terhadap dolar AS tampaknya
semakin dalam. Mengutip Reuters, Jumat (31/8/2018) sore ini, dolar AS
sudah menyentuh Rp 14.844.
Meski terus melemah, rupiah masih jauh dari posisi terburuk sepanjang sejarah yaitu saat krismon alias krisis moneter 1998.
Jika dibandingkan dengan krisis 1997-1998, kondisi Indonesia saat ini lebih baik. Karena saat krisis moneter kala itu, rupiah jatuh dari sekitar Rp 2.000/US$ menjadi Rp 16.800/US$.
Angka tersebut menjadi sejarah krisis ekonomi terburuk di Indonesia yang saat itu Indonesia juga tengah memasuki era reformasi kepemimpinan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan pihaknya memiliki komitmen untuk menjaga stabilitas ekonomi. Ia menjelaskan sudah meningkatkan intensitas intervensi terhadap mata uang.
"Komitmen Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama rupiah sangat kuat. Oleh karena itu, kami telah meningkatkan intensitas intervensi kami," kata Perry Warjiyo kepada wartawan, Jumat (31/8/2018).
Sebagai informasi, di tahun ini rupiah telah mengalami pelemahan sekitar 8%, setelah penurunan mata uang Peso Argentina mengikuti Lira volatilitas Turki.
Perry menjelaskan, BI akan terus memantau perkembangan pasar di Argentina dan Turki, meskipun ia menekankan bahwa ekonomi Indonesia masih kuat.
Hasil patokan surat utang dalam 10 tahun terakhir Indonesia mencapai 8,094% pada hari Jumat. Nilai tersbeut masuk katagori tertinggi sejak Desember 2016, terhadap penutupan yang sebelumnya 7,967%.
Sementara itu, Kepala Manajemen Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan, BI sudah melakukan intervensi untuk mendukung rupiah dan menghentikan jatuhnya harga surat utang.
Mengutip pembelian surat utang, pada hari ini surat utang sudah mencapai angka Rp 3 triliun atau setara US$ 203,74 juta dari surat utang yang dijual oleh investor asing.
Nanang menjelaskan, arus keluar surat utang telah menekan rupiah. Sepanjang tahun ini BI telah membeli sekitar Rp 80 triliun surat utang pemerintah untuk mengendalikan kenaikan rupiah.
Indeks saham utama Indonesia tampak mendekati angka Rp 50 triliun atau setara US$ 3,40 miliar. Dana bersih yang keluar dari asing tahun ini turun 0,7% pada 08.30 GMT, setelah turun 1,3% sebelumnya pada hari Jumat.
Selain Indonesia ternyata, Pasar Asia juga saat ini tengah di bawah tekanan. Setelah adanya laporan bahwa Presiden AS Donald Trump sedang mempersiapkan untuk meningkatkan perang perdagangan dengan Beijing pada Jumat (31/8/2018).
Sebelum sampai pada tahap ini, BI telah menaikkan suku bunga empat kali sejak Mei dengan total kenaikan sebesar 125 basis poin. BI tampak mencoba mendapatkan investor untuk membeli aset Indonesia lagi. Hal ini tampaknya terus dilakukan BI hal tersebut terlihat dari adanya rencana pertemuan kebijakan berikutnya yang akan dilakukan pada 26-27 September 2018.
Menanggapi kondisi ini, Ekonom dari Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro menjelaskan, saat ini BI tetap menjadi pemasok tunggal dolar. Ia menjelaskan BI menjadi pemasok utama di di pasar valuta asing, karena eksportir yang menahan pergerakan BI.
Selain itu importir di dalam negeri tampaknya membeli barang terlalu banyak dari apa yang mereka butuhkan, hal tersebut membuat neraca perdagangan di Indonesia defisit.
Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk mengatasi lonjakan impor, yang menambah kekurangan pasokan dolar di darat dan memperluas defisit transaksi berjalan.
Ia menjelaskan, rencana tersebut sudah mulai terealisasi melalui kebijakan untuk menaikkan tarif impor untuk beberapa barang konsumsi dan memberlakukan penggunaan biodiesel di bulan depan untuk memangkas impor minyak.
Meskipun mata uang melemah, tingkat inflasi tahunan Indonesia terlihat hanya meningkat sedikit pada bulan Agustus.Untuk kuartal kedua, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,3%. Nilai pertumbuhan ini merupakan yang tercepat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. (dna/dna)
Meski terus melemah, rupiah masih jauh dari posisi terburuk sepanjang sejarah yaitu saat krismon alias krisis moneter 1998.
Jika dibandingkan dengan krisis 1997-1998, kondisi Indonesia saat ini lebih baik. Karena saat krisis moneter kala itu, rupiah jatuh dari sekitar Rp 2.000/US$ menjadi Rp 16.800/US$.
Baca juga: Dolar AS Tembus Rp 14.800, Rini Minta Ini ke BUMN
|
Angka tersebut menjadi sejarah krisis ekonomi terburuk di Indonesia yang saat itu Indonesia juga tengah memasuki era reformasi kepemimpinan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan pihaknya memiliki komitmen untuk menjaga stabilitas ekonomi. Ia menjelaskan sudah meningkatkan intensitas intervensi terhadap mata uang.
"Komitmen Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama rupiah sangat kuat. Oleh karena itu, kami telah meningkatkan intensitas intervensi kami," kata Perry Warjiyo kepada wartawan, Jumat (31/8/2018).
Sebagai informasi, di tahun ini rupiah telah mengalami pelemahan sekitar 8%, setelah penurunan mata uang Peso Argentina mengikuti Lira volatilitas Turki.
Perry menjelaskan, BI akan terus memantau perkembangan pasar di Argentina dan Turki, meskipun ia menekankan bahwa ekonomi Indonesia masih kuat.
Hasil patokan surat utang dalam 10 tahun terakhir Indonesia mencapai 8,094% pada hari Jumat. Nilai tersbeut masuk katagori tertinggi sejak Desember 2016, terhadap penutupan yang sebelumnya 7,967%.
Sementara itu, Kepala Manajemen Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan, BI sudah melakukan intervensi untuk mendukung rupiah dan menghentikan jatuhnya harga surat utang.
Mengutip pembelian surat utang, pada hari ini surat utang sudah mencapai angka Rp 3 triliun atau setara US$ 203,74 juta dari surat utang yang dijual oleh investor asing.
Nanang menjelaskan, arus keluar surat utang telah menekan rupiah. Sepanjang tahun ini BI telah membeli sekitar Rp 80 triliun surat utang pemerintah untuk mengendalikan kenaikan rupiah.
Indeks saham utama Indonesia tampak mendekati angka Rp 50 triliun atau setara US$ 3,40 miliar. Dana bersih yang keluar dari asing tahun ini turun 0,7% pada 08.30 GMT, setelah turun 1,3% sebelumnya pada hari Jumat.
Baca juga: Dolar AS Perkasa, Proyek LRT Jabodebek Kena Dampak?
|
Selain Indonesia ternyata, Pasar Asia juga saat ini tengah di bawah tekanan. Setelah adanya laporan bahwa Presiden AS Donald Trump sedang mempersiapkan untuk meningkatkan perang perdagangan dengan Beijing pada Jumat (31/8/2018).
Sebelum sampai pada tahap ini, BI telah menaikkan suku bunga empat kali sejak Mei dengan total kenaikan sebesar 125 basis poin. BI tampak mencoba mendapatkan investor untuk membeli aset Indonesia lagi. Hal ini tampaknya terus dilakukan BI hal tersebut terlihat dari adanya rencana pertemuan kebijakan berikutnya yang akan dilakukan pada 26-27 September 2018.
Menanggapi kondisi ini, Ekonom dari Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro menjelaskan, saat ini BI tetap menjadi pemasok tunggal dolar. Ia menjelaskan BI menjadi pemasok utama di di pasar valuta asing, karena eksportir yang menahan pergerakan BI.
Selain itu importir di dalam negeri tampaknya membeli barang terlalu banyak dari apa yang mereka butuhkan, hal tersebut membuat neraca perdagangan di Indonesia defisit.
Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk mengatasi lonjakan impor, yang menambah kekurangan pasokan dolar di darat dan memperluas defisit transaksi berjalan.
Ia menjelaskan, rencana tersebut sudah mulai terealisasi melalui kebijakan untuk menaikkan tarif impor untuk beberapa barang konsumsi dan memberlakukan penggunaan biodiesel di bulan depan untuk memangkas impor minyak.
Meskipun mata uang melemah, tingkat inflasi tahunan Indonesia terlihat hanya meningkat sedikit pada bulan Agustus.Untuk kuartal kedua, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,3%. Nilai pertumbuhan ini merupakan yang tercepat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. (dna/dna)
Comments
Post a Comment